[Jakarta, 19 Oktober 2020] – Human Rights Working Group (HRWG) menyambut lawatan kerja PM Jepang Yoshihide Suga ke Indonesia dan Vietnam dalam minggu ini dengan mendesak pemerintah Jepang untuk melakukan negosiasi ulang kerja sama dalam skema magang Technical Intern Training Program (TITP). Mengingat, maraknya praktik perekrutan tidak adil (unfair recruitment) yang ditandai dengan penarikan biaya berlebih hingga eksploitasi tanpa pengawasan dan penindakan yang tegas dari pemerintah Indonesia terhadap pelaku-pelakunya saat proses pra-keberangkatan dan eksploitasi kerja saat masa magang di Jepang.
Praktik merugikan ini disebabkan pemerintah Indonesia tidak menetapkan struktur biaya proses pemagangan ke Jepang. Skema ini hanya diatur melalui Permen Naker No. 8/2008 tentang Tata Cara Perizinan dan Penyelenggaraan Pemagangan di Luar Negeri dan para pemagang dikeluarkan dari skema perlindungan yang diatur dalam Pasal 4 (b) UU No. 18/2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran. Di sana, pemagang diperlakukan layaknya pekerja. Maka seharusnya, mereka masuk dalam jaminan perlindungan UU No. 18/2017.
HRWG mengakui kontribusi positif ekonomi atas kerjasama ini. Meski demikian, maraknya praktik eksploitasi dan pelanggaran HAM harus dihentikan. Dalam skema ini, alih-alih ingin meningkatkan keterampilan dan pengetahuan serta memperbaiki nasib dengan magang ke Jepang, sebelum mereka berangkat, banyak dari mereka bahkan sudah terlilit hutang. Seruan renegosiasi ini berkebalikan dengan upaya pemerintah (Menteri Ketenagakerjaan) yang justru ingin meneruskan dan menambah kuota para pemagang ke Jepang.
Seruan negosiasi ulang dan moratorium adalah rekomendasi hasil kajian HRWG, “Shifting the Paradigm of Indonesia-Japan Labour Migration Cooperation” yang diluncurkan HRWG Mei 2020.
Studi menyimpulkan, dengan meneruskan kerjasama ini sama halnya kedua pemerintah (Indonesia dan Jepang) terus memfasilitasi praktik eksploitasi para pekerja. Pemerintah Indonesia dan Jepang harus mengubah paradigma lama, yaitu kerjasama mendatangkan buruh murah sebanyak-banyaknya dan tutup mata atas praktek eksploitasi, menjadi paradigma yang mengedepankan perlindungan sebagai dasar kerjasamanya seperti semangat UU PPMI.
Selain moratorium atau penghentian sementara, kunjungan ini juga bisa menjadi agenda untuk melakukan renegosiasi bilateral sembari memperbaiki payung hukum perlindungan dan efektivitas pengawasannya baik di Indonesia dan Jepang. Pemerintah Indonesia terus didorong untuk menetapkan struktur pembiayaan yang jelas.
Pemerintah Indonesia juga didorong untuk mendisiplinkan dan memberikan sanksi kepada aktor-aktor yang selama ini melakukan praktik tidak etis.
Setahun lalu, Pemerintah Jepang merevisi Undang-undang Keimigrasian pada April 2019 dengan tujuan menjaring 340.000 pekerja asing kategori Specified Skilled Workers dari beberapa negara di Asia, termasuk Indonesia. Skema baru ini sayangnya tidak diikuti oleh penghapusan beberapa skema penempatan tenaga kerja asing yang telah berlaku sebelumnya, yaitu TITP.
Menurut data Kementerian Kesehatan, Tenaga Kerja dan Kesejahteraan Jepang, pada 21 Januari 2020, terdapat 51.337 orang Indonesia bekerja di Jepang dan lebih separuhnya masuk dalam kategori skema magang.
Kontak: Daniel Awigra, Deputi Direktur HRWG (+62 817-6921-757).
Download here.