Memperingati HAM Internasional 2021, Indonesia masih belum serius melaksanakan komitmennya internasional untuk pemajuan HAM dalam negeri. Hal ini dapat dilihat dari masih buruknya implementasi atas rekomendasi yang diterima Indonesia dalam sidang Universal Periodic Review (UPR) atau Tinjauan Berkala Universal pada tahun 2017 lalu. Padahal, tahun depan Indonesia sudah akan menghadapi sidang UPR selanjutnya.
UPR adalah salah satu Mekanisme HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di mana 193 Negara Anggota PBB melaporkan situasi hak asasi manusia di negara tersebut, dan juga tindakan Pemerintah untuk memenuhi kewajiban Negara dalam pemenuhan atas HAM. Mekanisme UPR ini dibuat oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 15 Maret 2006 melalui Resolusi 60/251 oleh Dewan Hak Asasi Manusia. Dengan mekanisme ini, setidaknya 42 negara ditinjau ulang situasi HAM-nya setiap tahun di Kantor PBB, Jenewa, Swiss. Pada tahun 2017, Indonesia telah menerima 225 rekomendasi dari 101 Negara di mana 167 rekomendasi langsung diterima dan 58 rekomendasi dicatat. HRWG mencatat bahwa hal itu terkait dengan perlindungan kelompok minoritas dan rentan di Indonesia, termasuk perempuan, kecacatan, agama minoritas, dan kelompok etnis.
Beberapa isu yang menjadi perhatian komunitas internasional dan masuk ke dalam rekomendasi UPR tahun 2017 adalah pelanggaran HAM masa lalu, ratifikasi konvensi atau instrumen internasional hak, penyandang disabilitas, pembela HAM, perempuan, buruh migran, serta kebebasan agama atau berkeyakinan. Rekomendasi ini sangat penting untuk mengawasi dan memastikan penanganan masalah ini akan terus berlanjut; mengingat kondisi kelompok tersebut sangat memprihatinkan di Indonesia.
Dalam isu pelanggaran HAM masa lalu, salah satu rekomendasi yang menjadi perhatian adalah terkait pelanggaran-pelanggaran HAM di Papua. Salah satu isi dalam rekomendasi tersebut adalah untuk menyelesaikan investigasi kasus pelanggaran HAM di Papua dan meningkatkan capacity building kepada aparat penegak hukum untuk menjamin hak atas berkumpul secara damai dapat dihormati. Namun penanganan kasus pelanggaran HAM dan kekerasan di Papua tidak pernah maksimal dan pelanggaran HAM justru masih terus terjadi. Hal ini terjadi lantaran tidak adanya penerapan pengadilan HAM dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi seperti yang diamanatkan Pasal 45 Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua. Konflik ini masih terus terjadi bahkan setelah pemerintah menerima rekomendasi terkait Papua pada sidang UPR 2017. Tahun 2018, serangan kepada Papua kembali terjadi di Kabupaten Nduga. Konflik di Nduga justru bereskalasi, yang berdampak langsung pada penduduk sipil. Pada 20 Desember 2018, Pemerintah Kabupaten Nduga menemukan jenazah empat warga sipil. [1]
Pelanggaran terhadap hak berkumpul secara damai juga terjadi pada 22 Agustus 2019 yaitu adanya pemadaman internet di Papua oleh pemerintah, mengirim 6.000 tentara dan polisi tambahan ke Papua, melarang unjuk rasa, membatasi akses warga negara asing ke Papua, dan menangkap 733 orang. Insiden ini terjadi sebagai respon represif pemerintah atas unjuk rasa yang dilakukan terkait dengan tindakan rasisme yang terjadi di Surabaya tahun 2019 yang mengakibatkan 43 mahasiswa Papua ditangkap dan dituduh tidak menghormati bendera Indonesia. Tindakan pemerintah ini secara langsung telah melanggar hak atas kebebasan berkumpul dan berserikat secara damai dan pembatasan hak sipil sebagaimana diterangkan pada ICCPR.
Dalam isu terkait pembela HAM di Indonesia, salah satu rekomendasi yang diberikan terkait hal ini adalah tentang pembaharuan hukum yang harus dilakukan pemerintah Indonesia. Rekomendasi tersebut berbunyi “mengadopsi langkah-langkah legislatif (hukum) untuk mencegah dan memerangi intimidasi, penindasan, atau kekerasan terhadap pembela HAM, jurnalis, organisasi masyarakat sipil”. Saat ini regulasi mengenai prosedur perlindungan bagi pembela HAM telah terdapat dalam Peraturan Komnas HAM No. 5 Tahun 2015, kenyataannya regulasi ini tidak mampu diterapkan dengan maksimal pada kasus kriminalisasi pada pembela HAM. Tahun 2020, Komnas HAM menangani 11 kasus terkait dengan pembela HAM, 3 kasus kriminalisasi, 5 kasus intimidasi dan ancaman, 2 kasus penangkapan sewenang-wenang dan 1 kasus dugaan kekerasan hingga menyebabkan kematian. Di tahun yang sama, Amnesty International mencatat 253 orang dan pada tahun 2021 jumlah korban meningkat menjadi 297 orang.[2] Bentuk-bentuk serangan yang terjadi mulai dari ditangkap secara paksa, ditahan, dijadikan tersangka, penganiayaan, penghilangan, pembunuhan, pembubaran kegiatan, pelecehan, penyerbuan, pengrusakan, dijadikan daftar pencarian orang (DPO) dan tindakan lainnya. Selain itu kasus kriminalisasi pembela HAM yang masih hangat dan jadi perbincangan saat ini adalah yang menjerat Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar. Hari HAM Internasional ini dapat menjadi momentum untuk terus mengampanyekan mengenai pentingnya penghormatan dan pemenuhan hak-hak pembela HAM.
Pada isu penyandang disabilitas, sidang UPR merekomendasikan pemerintah Indonesia meningkatkan upaya perlindungan HAM bagi penyandang disabilitas fisik. Rekomendasi lainnya terkait implementasi RAN Disabilitas 2013-2022 dengan menekankan pada situasi anak yang berhadapan dengan berbagai bentuk diskriminasi. Kondisi pemenuhan hak dan perlindungan bagi kelompok disabilitas di Indonesia saat ini dapat dikatakan masih rendah. Hal tersebut dibuktikan dari banyaknya kasus yang terjadi mulai dari diskriminasi, kekerasan seksual dan kekerasan fisik, jaminan sosial dan kesehatan yang tidak merata, juga perundungan dan berbagai macam bentuk diskriminasi lainnya. Kerentanan semakin tinggi bagi anak dengan disabilitas. Kemen PPPA mencatat sebanyak 110 anak penyandang disabilitas dari total 1.355 anak korban mengalami kekerasan. Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) BPS pada 2019 juga menunjukan ada sebanyak 13,5% anak disabilitas belum pernah sekolah dan 9,58% tidak lagi bersekolah. Kondisi tersebut seperti membuktikan bahwa disabilitas masih berada pada posisi yang tidak sama dan tidak seimbang dengan kelompok non-disabilitas.
Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 dan Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas (CRPD) telah mengamanatkan secara rigid bahwa kelompok disabilitas memiliki kesamaan hak dan kesempatan yang sama pada semua aspek kehidupan sosial. Tingginya pelanggaran hak pada penyandang disabilitas ini membuktikan bahwa pemerintah Indonesia masih abai dalam mengimplementasikan rekomendasi yang diberikan pada sidang UPR tahun 2017. Terbaru, pada 01 Desember 2021, Menteri Sosial Tri Rismaharini dalam sebuah forum memaksa seorang penyandang disabilitas rungu untuk berbicara. Tindakan ini menunjukkan perspektif Risma sebagai bagian dari pemerintah dalam menyikapi isu penyandang disabilitas masih diskriminatif, di mana tindakannya dapat diklasifikasi sebagai tindakan audisme atau menganggap orang yang dapat berbicara dan mendengar lebih baik daripada yang tidak.
Selanjutnya, rekomendasi yang diberikan melalui mekanisme UPR kepada pemerintah Indonesia mengenai buruh migran juga masih belum maksimal implementasinya. Rekomendasi yang dimaksud mengenai penguatan kepemimpinan dalam meningkatkan mekanisme inklusif regional bagi perlindungan buruh migran melalui instrumen yang mengikat secara hukum, melanjutkan upaya perlindungan buruh migran Indonesia di luar negeri dan di dalam negeri, serta menyelenggarakan pelatihan peningkatan kapasitas bagi mereka. Meskipun belum maksimal, penerapan rekomendasi ini sebagian besar sudah dilakukan oleh pemerintah yaitu dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 18 tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia. Namun semenjak 4 tahun disahkannya UU PPMI saat ini pemerintah belum juga menuntaskan aturan turunan yang diamanatkan pada UU tersebut. Hal ini menyebabkan terjadinya kekosongan jaminan perlindungan hukum (the absence of law) yang mengakibatkan pekerja migran memiliki resiko mengalami pelanggaran hak-haknya. Belum adanya aturan turunan tersebut diperparah dengan disahkannya UU Cipta Kerja yang di dalamnya terdapat pasal-pasal yang menyudutkan posisi pekerja migran, khususnya pasal 84 dan 89 yang berdampak kuat pada pelemahan perlindungan pekerja migran. Mahkamah Konstitusi menyebut bahwa UU Cipta Kerja ini inkonstitusional, sayangnya masih berlaku hingga dua tahun ke depan.
Selanjutnya, rekomendasi yang diterima pemerintah Indonesia pada sidang UPR 2017 adalah mengenai kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB). Jumlah rekomendasi yang diterima mengenai hak KBB ini paling banyak dibandingkan dengan rekomendasi terkait isu-isu lainnya. Secara garis besar, rekomendasi ini menyinggung aspek konstitusi atau hukum yang harus menjamin hak KBB termasuk regulasi pada tingkat daerah. Selain itu, pemerintah Indonesia juga direkomendasikan untuk menjamin pemajuan, penghormatan dan memastikan agama minoritas dapat menjalankan kepercayaan dan ibadahnya dengan damai. Fakta di lapangan menunjukkan kasus KBB bagaikan lingkaran yang tidak ada ujungnya; penanganan yang tidak pernah selesai, bahkan kasus justru semakin bertambah. Pada September 2021 terjadi penyerangan pada kelompok Ahmadiyah di Sintang, Kalimantan Barat, disertai dengan pengrusakan masjid dan bangunan milik mereka. Insiden ini mengakibatkan sejumlah jemaah Ahmadiyah di Sintang mengalami rasa trauma dan tidak mau keluar rumah, terutama perempuan dan anak.
Hal serupa juga terjadi pada kelompok Syiah Sampang yang sudah mengungsi sejak tahun 2012 karena penyerangan dan diusir dari kampung halamannya oleh kelompok intoleran. Namun pemulihan dan rekonsiliasi kasus ini tidak kunjung selesai, meskipun kelompok Syiah Sampang sudah melakukan bai’at sebagai persyaratan pemulangan yang dijanjikan oleh pemerintah. Laporan SETARA Institute mencatat sepanjang tahun 2020 terdapat 180 peristiwa pelanggaran KBB dengan 424 bentuk tindakan. Dibandingkan tahun sebelumnya, tahun 2020 mengalami penurunan jumlah peristiwa dari 200 peristiwa, namun mengalami lonjakan dari 327 tindakan.[3]
Tingginya kasus pelanggaran HAM di berbagai aspek baik ekonomi, sosial, dan budaya maupun sipil dan politik yang terjadi di Indonesia saat ini membuktikan bahwa perlu adanya peran yang maksimal dari negara untuk menjaga, menghormati, memenuhi dan mempromosikan hak asasi manusia. Selain itu, peran masyarakat sipil juga penting untuk mengawal peran negara dalam melaksanakan tugasnya sebagai pengemban kewajiban. Pada momentum Hari HAM Internasional ini, kita masih melihat minimnya komitmen pemerintah Indonesia dalam melaksanakan rekomendasi UPR yang sudah diberikan sejak 4 tahun lalu. Hal ini penting menjadi catatan bahwa dalam mempersiapkan momen sidang UPR yang akan dilaksanakan pada tahun 2022, pemerintah harus dengan maksimal menerapkan rekomendasi yang diberikan negara anggota, agar rekomendasi itu hanya menjadi catatan buku namun dapat menjadi tolok ukur pelaksanaan perlindungan HAM di Indonesia.
[1] Konflik Papua: Pemerintah Perlu Mengubah Pendekatan Keamanan dengan Pendekatan Humanis (Jakarta: CBDS Binas Nusantara University, Oktober 2020), h. 4
[2] Laporan Amnesty Internasional 2020/21, h. 15
[3] Intoleransi Semasa Pandemi-Kondisi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia tahun 2020, (Jakarta: Pustaka Masyarakat SETARA Institute) h. 24
Download file.