Hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan masih menjadi persoalan yang belum tuntas di Indonesia saat ini. Kebebasan beragama dan berkeyakinan khususnya forum internum merupakan hak individu yang tidak bisa ditunda, dikurangi, maupun dibatasi pemenuhannya (non derogable rights). UUD 1945 dan beberapa peraturan perundangan di bawahnya, antara lain Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 dan instrumen hukum HAM Internasional yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia terutama Kovenan Hak Sipil dan Politik (ICCPR) dengan Undang-Undang No. 12 Tahun 2005, telah memuat jaminan atas hak beragama dan berkeyakinan (KBB) kepada seluruh rakyat Indonesia.
Negara, dalam hal ini adalah Pemerintah, adalah pemangku kewajiban hak asasi manusia termasuk di dalamnya hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan. Negara memiliki 3 (tiga) kewajiban yang harus dilaksanakan untuk menjamin hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan, yaitu kewajiban untuk menghormati (to respect), melindungi (to protect), dan memenuhi (to fulfill). Bagian dari kewajiban HAM tersebut adalah memberikan jaminan pemulihan atas pelanggaran yang terjadi dan memastikan akses keadilan bagi korban pelanggaran.
Dalam praktiknya, jaminan hak atas KBB menghadapi tantangan serius, baik dari aktor negara maupun dari masyarakat. Mulai dari pelanggaran yang ringan karena terkait sikap intoleran hingga aksi-aksi diskriminasi dan kekerasan. Menurut catatan Komnas HAM, paling tidak ada tiga kasus serius yang harus didorong upaya penyelesaiannya sekaligus upaya pemulihan hak-hak korban, antara lain persoalan pengungsi Ahmadiyah di Mataram, pengungsi Syiah di Sidoarjo, dan komunitas Gafatar yang terusir dari Kalimantan. Dua di antara 3 kasus ini merupakan kasus yang hingga saat ini belum teratasi, para korban yang secara terpaksa harus meninggalkan tempat tinggal mereka berada di pengungsian. Sementara satu kasus lainnya adalah pelanggaran yang terjadi secara sangat dramatis tanpa adanya perhatian serius atas perampasan hak yang telah terjadi.
Merujuk pada kewajiban HAM internasional, telah menjadi prinsip bahwa setiap pelanggaran tidak hanya harus dicegah, ditangani, namun juga dipulihkan dari setiap penderitaan dan kerugiaan yang dialami korban. Setiap orang yang hak-hak atau kebebasannya dilanggar seharusnya memperoleh upaya pemulihan yang efektif, melalui mekanisme hukum dan administrasi yang sesuai hukum nasional. Hal ini sejalan dengan Pasal 8 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia/DUHAM (Universal Declaration of Human Rights) menyatakan, “Setiap orang berhak atas pemulihan yang efektif dari pengadilan nasional yang kompeten untuk tindakan-tindakan yang melanggar hak-hak dasar yang diberikan kepadanya oleh undang-undang dasar atau hukum”.
Dalam pengantar ini, saya sangat mengapresiasi atas terbitnya Buku laporan Penelitian PELANGGARAN HAK KBB DAN HAK ATAS REPARASI KORBAN: Studi Kasus Pengungsi JAI NTB, Syiah Sampang, dan Eks-Gafatar di Kalimantan Barat, yang pada intinya hendak mengidentifikasi proses pemulihan korban KBB, landasan hukum dan jaminan regulasi, serta kerangka peluang dan tantangan dalam penyelesaian tiga kasus KBB di atas. Sebagai suatu diskursus HAM, buku ini memberikan informasi baru yang berbeda dari laporan-laporan sebelumnya yang lebih banyak berfokus pada pelanggaran. Padahal, pemulihan terhadap pelanggaran sama pentingnya dengan penyelesaian pelanggaran itu sendiri.
Tentu kami berharap, penelitian ini bisa menjadi pondasi bagi penguatan hak dan pemulihan korban pelanggaran hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan di masa mendatang. Lebih jauh, kami berharap penelitian ini bisa memberikan sumbangsih nyata dalam upaya pemajuan hak asasi manusia di Indonesia.
Jakarta, Agustus 2018
Ahmad Taufan Damanik
Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia RI
Download here.