Buruh migran atau dikenal dengan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) merupakan suatu permasalahan yang belum mendapatkan perhatian serius oleh Pemerintah Indonesia. Meskipun ratifikasi Konvensi Internasional Perlindungan Buruh Migran dan Seluruh Anggota Keluarganya telah dilakukan, upaya ini sayangnya tidak diikuti dengan revisi UU No. 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (PPTKILN). Akibatnya, perlindungan terhadap buruh migran masih diterapkan secara setengah-setengah, reaktif dan tambal sulam, karena sejak awal UU ini disusun tidak menempatkan aspek perlindungan sebagai komponen utama pengaturan buruh migran di Indonesia.
Pendekatan bisnis di dalam UU No. 39/2004 telah menempatkan buruh migran sebagai kelompok rentan, mulai dari di dalam negeri, negara tujuan, hingga proses purna. Padahal, ditegaskan jelas di dalam konvensi bahwa perlindungan buruh migran harus dilakukan secara komprehensif dan diatur di dalam hukum nasional. Di sisi yang lain, pengaturan buruh migran masih diserahkan kepada kelompok bisnis dan korporasi (perusahaan penyalur) yang tidak mendapatkan pengawasan serius dari pemerintah. Akibatnya, dalam banyak kasus buruh migran menjadi korban eksploitasi dan kekerasan perusahaan penyalur, berikut pula pihak-pihak yang meraup keuntungan dari proses migrasinya.
Adalah penting untuk mengembalikan tanggung jawab perlindungan buruh migran kepada negara, karena secara struktural negara telah dibekali dengan pelbagai perangkat, baik di dalam negeri, negara transit maupun di negara tujuan. Kehadiran negara harus mewujud pada sistem perlindungan utuh terhadap segala situasi rentan buruh migran, terutama bagi buruh migran perempuan yang lebih banyak bekerja di sektor domestik pekerja rumah tangga.
Demikian halnya di level ASEAN yang nota bene mengarah pada satu komunitas regional. Buruh migran harus dilihat dalam kerangka perlindungan bagi setiap orang untuk bekerja di luar negeri dan mendapatkan keuntungan dari kerjanya secara layak, serta mendapatkan perlindungan dari negara tujuan bekerja. Hal ini meniscayakan adanya prinsip non-diskriminasi dari negara terhadap siapapun yang ada di negaranya, sehingga perlindungan dan pemenuhan hak buruh migran dapat tercapai. Selain itu pula, upaya-upaya perumusan instrumen perlindungan buruh migran di level kawasan harus segera diadopsi oleh ASEAN sebagai organisasi agar permasalahan buruh migran ini tidak berlarut-larut.
Dalam hal ini pula, sebagai upaya minimal terhadap perlindungan buruh migran, ASEAN Forum on Migrant Labour (AFML) yang dilaksanakan setiap tahun oleh komponen-komponen penting di kawasan seharusnya dapat terlaksana secara baik, dengan sistem pemantauan dan monitoring yang jelas dari masing-masing negara, pengusaha, serikat buruh, serta masyarakat sipil. Jika tidak, maka AFML hanya akan menjadi ajang pertemuan formalitas tahunan yang sama sekali tidak memberikan dampak positif bagi buruh migran di ASEAN. Lebih dari itu, setiap negara juga harus bekerjasama menghilangkan egosentris masing-masing agar upaya perlindungan dan pemenuhan hak buruh migran ini dapat terlaksana, karena pada prinsipnya rekomendasi AFML sendiri merupakan kesepakatan di antara para pihak dari 10 Negara Anggota ASEAN itu sendiri.
Hadirnya buku ini, yang disusun oleh sejumlah penulis dan diterbitkan oleh HRWG, diharapkan dapat memberikan gambaran utuh tentang problematika buruh migran di Indonesia dalam kaitannya politik antarnegara di kawasan ASEAN. Dengan berpedoman pada rekomendasi-rekomendasi AFML, yang dikaitkan dengan situasi buruh migran di dalam negeri dan negara tujuan, termasuk pula standar HAM internasional, diharapkan dapat memberikan input positif bagi perlindungan dan pemenuhan buruh migran ke depan. Harapannya, kajian ini juga dapat memberikan kontribusi signifikan dalam proses pembentukan instrumen buruh migran di ASEAN.
Saya –atas nama HRWG, ingin menyampaikan terimakasih yang sebesar besarnya kepada Yayasan TIFA selaku pihak yang telah mendukung pembuatan buku ini, Jaringan Buruh Migran (JBM), khususnya presidium advokasi ASEAN, ASEAN Task Force on Migrant Labour yang mendorong jaringan CSOs Indonesia untuk menyiapkan AFML setiap tahunnya. Juga, kepada kepada rekan-rekan buruh migran Indonesia yang memberikan masukan dan berbagai pengalamannya, dan pihak-pihak lain yang membantu pembuatan buku ini dan tidak dapat saya sebutkan satu-persatu.
Terlepas dari segala kekurangannya, semoga ikhtiar pembuatan buku ini dapat disambut dengan diskusi lanjutan untuk mendorong perbaikan perlindungan dan tata kelola buruh migran di Indonesia dan di ASEAN. Selamat membaca!
Muhammad Hafiz
Direktur Eksekutif HRWG
Download here.